Sepeda sudah akrab dengan kita sebagai kendaraan transportasi manusia abad 20. Akan tetapi Baron Karls Drais von Sauerbronn sudah menyempurnakan velocipede (dari bahasa Prancis: vélocipède /ve.lɔ.si.pɛd/) di tahun 1818 hingga berbentuk kendaran beroda dua. Terima kasih Mbah Baron. Sejak bayi kita sudah dikenalkan dengan kendaraan beroda ini dalam bentuk stroller bayi atau sepeda roda tiga (merk family yang paling legend) sambil dicemong bedak untuk makan sore. Mayoritas dari kita sudah naik sepeda sejak bangku sekolah. Menjadi berbeda ketika sepeda mulai dipelajari dengan serius sebagai kebiasaan berolahraga.
Tepat sebelum pandemi COVID-19 masuk Indonesia, Januari 2020 saya datang ke sebuah toko sepeda dan meminang (gadis desa) sebuah sepeda roadbike. Saya memilih entry-level karena uangnya masih cukup di situ. Sepeda yang cocok adalah sepeda yang rela dibeli sesuai kantong anda. Semakin mahal yaa tentu saja semakin baik. Namun kelakuan dadakan beli sepeda saya menjadi momen yang tepat ketika harga sepeda mulai naik gila-gilaan karena masyarakat di Indonesia dan dunia mulai demam bersepeda. Memasuki bulan maret harga sepeda kemudian naik 1-2 juta dari harga semula dan barang langka di pasaran. Gila!
Sebagai pemula naik sepeda, banyak perlengkapan yang harus dipenuhi ketika akan menjadi pesepeda yang baik, aman dan tentram bagi semua. Printilan itu antara lain mulai helm, sepatu dengan cleat, hingga jersey ketat seketat seleksi masuk PNS. Bagi pemula seperti saya sangat disarankan buat ‘ngaji sepeda’ dulu kepada mereka yang sudah senior. Bisa secara langsung kepada teman atau komunitas sepeda. Atau secara lebih detail soal sepeda dan sepedaan bisa dipelajari dari Podcast MainSepeda yang diasuh salah satu pentolan cyclist di Indonesia Kepala Sekolah AASOS (Azrul Ananda School of Suffering sekaligus Presiden Persebaya, Om Azrul Ananda.
Setelah khatam ngaji sepeda. Maka hal yang paling krusial dari punya sepeda adalah kekuatan dengkul ketika pedal dikayuh. Bagi saya kekuatan progres dengkul bisa dilihat lewat Strava.com. Aplikasi ini semacam wadah ‘pamer’ bagi mereka kaum yang gila olahraga, ada sepeda, lari, trekking hingga renang. Nilai positif dari pamer orang-orang yang sudah bersepeda lebih dulu inilah yang akan memotivasi yang lain. Secara naluri kita akan terpacu lebih giat berlatih atau berhenti sampai di sini. Minimal berusaha terpacu dulu, baru menyerah. Huhuhu. Menjadi budak strava adalah langkah awal rajin bersepeda. Olahraga itu soal peningkatan, kalau belum kuat beli sepeda maka yang dikuatkan performa sepedaannya.
Ternyata kalau dilihat dari statistik Strava di sini , saya sudah belajar sepedaan sejauh 2.500 Km. Whoah! cukup jauh buat pemula yang nafasnya masih megap-megap di kilometer awal, apalagi di kilometer akhir. Kalau diluruskan jarak 2.500 Km itu antara Surabaya–Medan. Kalau saja 5 kali bisa sepedaan rutin sejauh ini sudah bisa naik haji bawa sepeda, 12.000 km sampai kota Makkah. Wadidaw. Kebanyakan aksi sepedaan saya dilakukan secara sendiri alias solo riding, karena pandemi ini benar-benar mengharapkan masyarakat untuk jaga jarak. Hampir tiap minggu banyak sekali tawaran gowes bareng tetapi saya lebih memilih menjauh dari kerumunan atau libur sepedaan sekalian karena resiko yang terlalu besar. Pandemi benar-benar membuat stres banyak orang.
Sepuluh tahun lalu saya lebih sering naik gunung. Sekarang masih (belajar) naik gunung tapi pakai sepeda. Bersepeda ternyata lebih hemat waktu dibandingkan dengan olahraga lain. Barangkali kurang dari 4 Jam kita sudah bisa jalan sejauh 100 Km dengan kalori yang dibakar lebih dari 1000 Kkal, dijamin kurus meskipun sulit. Wkwk. Karena percayalah menurunkan bobot sepeda lebih mahal daripada menurunkan bobot tubuh. Mari merayakan 2.500 Km sepedaan dengan tidak sepedaan tapi dengan menulis lagi. Semoga selanjutnya saya menjadi cyclist yang kaffah, rajin bersepeda, bisa semakin cepat, semakin jauh.
Coba sempatkanlah olahraga, kalau tidak sempat yaa sudah, namanya juga manusia. Terima kasih. Salam Olahraga.